Saturday, October 13, 2007

TEORI BINGUNG ALAM SEMESTA

“Alam semesta bukanlah sesuatu yang diciptakan. Jika ia diciptakan, ia sudah pasti diciptakan oleh Tuhan dengan seketika dan dari ketiadaan,” begitu ditulis filosof materialis George Politzer, dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie.”

Hanya gara-gara fanatik pada keyakinannya bahwa “Tuhan tidak ada” para ilmuwan seperti Politzer ngotot mempertahankan pendapat, bahwa alam semesta bukanlah sesuatu yang diciptakan. Melainkan ada begitu saja, dengan sendirinya.

Para penganut materalisme ini meyakini model “alam semesta tak hingga” sebagai dasar berpijak paham ateis mereka. Menurut mereka alam semesta adalah sesuatu yang diam, luas tak terbatas, tak berkembang, dan kekal, dari dulu sampai nanti.

Inilah gagasan yang berkembang di abad ke-19. Selain meletakkan dasar berpijak bagi paham materialis, pandangan ini otomatis menolak keberadaan Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir.

Materialisme adalah sistem berpikir yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad ke-19. Sistem berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham Materialisme Dialektika Karl Marx.

Ketika Politzer berpendapat bahwa alam semesta tidak diciptakan dari ketiadaan, ia berpijak pada model alam semesta statis abad ke-19, dan menganggap dirinya sedang mengemukakan sebuah pernyataan ilmiah. Lucunya, berbagai penemuan sains dan teknologi yang berkembang di abad ke-20 akhirnya meruntuhkan gagasan kuno yang dinamakan materialisme ini.

Astronomi Mengatakan: Alam Semesta Diciptakan
Pada tahun 1929, di observatorium Mount Wilson California, ahli astronomi Amerika, Edwin Hubble membuat salah satu penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi.

Ketika mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini berarti bahwa bintang-bintang ini “bergerak menjauhi” kita. Sebab, menurut hukum fisika yang diketahui, spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke warna merah.

Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus-menerus “mengembang”.

Agar lebih mudah dipahami, alam semesta dapat diumpamakan sebagai permukaan balon yang sedang mengembang. Sebagaimana titik-titik di permukaan balon yang bergerak menjauhi satu sama lain ketika balon membesar, benda-benda di ruang angkasa juga bergerak menjauhi satu sama lain ketika alam semesta terus mengembang.

Sebenarnya, fakta ini secara teoritis telah ditemukan lebih awal. Albert Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad ke-20, berdasarkan perhitungan yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai ‘kesalahan terbesar dalam karirnya’.

Apa arti dari mengembangnya alam semesta? Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa ‘titik tunggal’ ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki ‘volume nol‘, dan ‘kepadatan tak hingga‘. Alam semesta telah terbentuk melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini.

Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini dinamakan ‘Big Bang‘, dan teorinya dikenal dengan nama tersebut. Perlu dikemukakan bahwa ‘volume nol‘ merupakan pernyataan teoritis yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Ilmu pengetahuan dapat mendefinisikan konsep ‘ketiadaan‘, yang berada di luar batas pemahaman manusia, hanya dengan menyatakannya sebagai ‘titik bervolume nol‘.

Sebenarnya, ‘sebuah titik tak bervolume‘ berarti ‘ketiadaan‘. Demikianlah alam semesta muncul menjadi ada dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia telah diciptakan. Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad ke-20, telah dinyatakan dalam Al-Quran 14 abad lampau: “Dia Pencipta langit dan bumi.” (Al-An’aam: 101)

Teori Big Bang menunjukkan, semua benda di alam semesta pada awalnya adalah satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Ini diartikan bahwa keseluruhan materi diciptakan melalui Big Bang atau ledakan raksasa dari satu titik tunggal, dan membentuk alam semesta kini dengan cara pemisahan satu dari yang lain.

Big Bang, Fakta Menjijikkan Bagi Kaum Materialis
Big Bang merupakan petunjuk nyata bahwa alam semesta telah ‘diciptakan dari ketiadaan‘, dengan kata lain ia diciptakan oleh Allah. Karena alasan ini, para astronom yang meyakini paham materialis senantiasa menolak Big Bang dan mempertahankan gagasan alam semesta tak hingga.

Alasan penolakan ini terungkap dalam perkataan Arthur Eddington, salah seorang fisikawan materialis terkenal yang mengatakan: “Secara filosofis, gagasan tentang permulaan tiba-tiba dari tatanan Alam yang ada saat ini sungguh menjijikkan bagi saya”.
Seorang materialis lain, astronom terkemuka asal Inggris, Sir Fred Hoyle termasuk yang paling merasa terganggu oleh teori Big Bang. Di pertengahan abad ke-20, Hoyle mengemukakan suatu teori yang disebut Steady-state yang mirip dengan teori ‘alam semesta tetap‘ di abad ke-19.

Teori Steady-state menyatakan, alam semesta berukuran tak hingga dan kekal sepanjang masa. Dengan tujuan mempertahankan paham materialis, teori ini sama sekali berseberangan dengan teori Big Bang, yang mengatakan bahwa alam semesta memiliki permulaan. Mereka yang mempertahankan teori steady-state telah lama menentang teori Big Bang. Namun, ilmu pengetahuan justru meruntuhkan pandangan mereka.

Pada tahun 1948, Gerge Gamov muncul dengan gagasan lain tentang Big Bang. Ia mengatakan, setelah pembentukan alam semesta melalui ledakan raksasa, sisa radiasi yang ditinggalkan oleh ledakan ini haruslah ada di alam. Selain itu, radiasi ini haruslah tersebar merata di segenap penjuru alam semesta.

Bukti yang ‘seharusnya ada‘ ini pada akhirnya diketemukan. Pada tahun 1965, dua peneliti bernama Arno Penziaz dan Robert Wilson menemukan gelombang ini tanpa sengaja. Radiasi ini, yang disebut ‘radiasi latar kosmis‘, tidak terlihat memancar dari satu sumber tertentu, akan tetapi meliputi keseluruhan ruang angkasa. Demikianlah, diketahui bahwa radiasi ini adalah sisa radiasi peninggalan dari tahapan awal peristiwa Big Bang. Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel untuk penemuan mereka.

Pada tahun 1989, NASA mengirimkan satelit Cosmic Background Explorer [COBE] ke ruang angkasa untuk melakukan penelitian tentang radiasi latar kosmis. Hanya perlu 8 menit bagi COBE untuk membuktikan perhitungan Penziaz dan Wilson. COBE telah menemukan sisa ledakan raksasa yang telah terjadi di awal pembentukan alam semesta. Dinyatakan sebagai penemuan astronomi terbesar sepanjang masa, penemuan ini dengan jelas membuktikan teori Big Bang.

Bukti penting lain bagi Big Bang adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang angkasa. Dalam berbagai penelitian, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium di alam semesta bersesuaian dengan perhitungan teoritis konsentrasi hidrogen-helium sisa peninggalan peristiwa Big Bang. Jika alam semesta tak memiliki permulaan dan jika ia telah ada sejak dulu kala, maka unsur hidrogen ini seharusnya telah habis sama sekali dan berubah menjadi helium.

Segala bukti meyakinkan ini menyebabkan teori Big Bang diterima oleh masyarakat ilmiah. Model Big Bang adalah titik terakhir yang dicapai ilmu pengetahuan tentang asal muasal alam semesta. Begitulah, alam semesta ini telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Perkasa dengan sempurna tanpa cacat:

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihtatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.” (Al-Mulk:3)

Ledakan yang Membentuk Kesempurnaan
Segala bukti meyakinkan di atas telah menyebabkan teori Big Bang diterima oleh masyarakat ilmiah. Model Big Bang adalah titik terakhir yang dicapai ilmu pengetahuan tentang asal muasal alam semesta. Begitulah, alam semesta ini telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Perkasa dengan sempurna tanpa cacat dari ketiadaan.

Dennis Sciama, yang selama bertahun-tahun bersama Sir Fred Hoyle mempertahankan teori Steady-state, yang berlawanan dengan fakta penciptaan alam semesta, menjelaskan posisi akhir yang telah mereka capai setelah semua bukti bagi teori Big Bang terungkap. Sciama menyatakan bahwa ia mempertahankan teori Steady-state bukan karena ia menanggapnya benar, melainkan karena ia berharap bahwa inilah yang benar.

Sciama selanjutnya mengatakan, ketika bukti mulai bertambah, ia harus mengakui bahwa permainan telah usai dan teori Steady-state harus ditolak. Prof George Abel dari Universitas California juga menerima kemenangan akhir Big Bang dan menyatakan bahwa bukti yang kini ada menunjukkan bahwa alam semesta bermula milyaran tahun silam melalui peristiwa Big Bang. Ia mengakui bahwa ia tak memiliki pilihan kecuali menerima teori Big Bang.

Dengan kemenangan Big Bang, mitos ‘materi kekal’ yang menjadi dasar berpijak paham materialis terhempaskan ke dalam tumpukan sampah sejarah. Lalu keberadaan apakah sebelum Big Bang; dan kekuatan apa yang memunculkan alam semesta sehingga menjadi ‘ada’ dengan ledakan raksasa ini saat alam tersebut ‘tidak ada’?

Meminjam istilah Arthur Eddington, pertanyaan ini jelas mengarah pada fakta yang ‘secara filosofis menjijikkan’ bagi kaum materialis, yakni keberadaan sang Pencipta, alias The Creator, alias Al-Khaliq.

Filosof ateis terkenal Antony Flew berkata tentang hal ini: “Sayangnya, pengakuan adalah baik bagi jiwa. Karenanya, saya akan memulai dengan pengakuan bahwa kaum Ateis Stratonisian terpaksa dipermalukan oleh kesepakatan kosmologi zaman ini. Sebab, tampaknya para ahli kosmologi tengah memberikan bukti ilmiah bahwa alam semesta memiliki permulaan.”

Banyak ilmuwan yang tidak secara buta menempatkan dirinya sebagai ateis telah mengakui peran Pencipta yang Mahaperkasa dalam penciptaan alam semesta. Pencipta ini haruslah Dzat yang telah menciptakan materi dan waktu, namun tidak terikat oleh keduanya.
Ahli astrofisika terkenal Hugh Ross mengatakan: “Jika permulaan waktu terjadi bersamaan dengan permulaan alam semesta, sebagaimana pernyataan teorema ruang, maka penyebab terbentuknya alam semesta pastilah sesuatu yang bekerja pada dimensi waktu yang sama sekali tak tergantung dan lebih dulu ada dari dimensi waktu alam semesta. Kesimpulan ini memberitahu kita bahwa Tuhan bukanlah alam semesta itu sendiri, Tuhan tidak pula berada di dalam alam semesta.”

Begitulah, materi dan waktu diciptakan oleh sang Pencipta yang tidak terikat oleh keduanya. Pencipta ini adalah Allah, Dialah Penguasa langit dan bumi.

Sebenarnya, Big Bang telah menimbulkan masalah yang lebih besar bagi kaum materialis daripada pengakuan Filosof ateis, Antony Flew. Sebab, Big Bang tak hanya membuktikan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan, tetapi ia juga diciptakan secara sangat terencana, sistematis dan teratur.

Big Bang terjadi melalui ledakan suatu titik yang berisi semua materi dan energi alam semesta serta penyebarannya ke segenap penjuru ruang angkasa dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dari materi dan energi ini, munculah suatu keseimbangan luar biasa yang melingkupi berbagai galaksi, bintang, matahari, bulan, dan benda angkasa lainnya. Hukum alam pun terbentuk yang kemudian disebut ’hukum fisika’, yang seragam di seluruh penjuru alam semesta, dan tidak berubah.

Hukum fisika yang muncul bersamaan dengan Big Bang tak berubah sama sekali selama lebih dari 15 milyar tahun. Selain itu, hukum ini didasarkan atas perhitungan yang sangat teliti sehingga penyimpangan satu milimeter saja dari angka yang ada sekarang akan berakibat pada kehancuran seluruh bangunan dan tatanan alam semesta. Semua ini menunjukkan bahwa suatu tatanan sempurna muncul setelah Big Bang.

Namun, yang namanya ledakan tidak mungkin memunculkan tatanan sempurna. Semua ledakan cenderung berbahaya, menghancurkan, dan merusak apa yang ada. Mulai dari ledakan gunung berapi sampai ledakan kompor di dapur, semua bersifat merusak.
Karenanya, jika kita diberitahu tentang kemunculan tatanan sangat sempurna setelah suatu ledakan, kita dapat menyimpulkan bahwa ada campur tangan ‘cerdas’ di balik ledakan ini, dan segala serpihan yang berhamburan akibat ledakan ini telah digerakkan secara sangat terkendali.

Sir Fred Hoyle, yang akhirnya harus menerima teori Big Bang setelah bertahun-tahun menentangnya, mengungkapkan hal ini dengan jelas: “Teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta berawal dari satu ledakan tunggal. Tapi, sebagaimana diketahui, ledakan hanya menghancurkan materi berkeping-keping, sementara Big Bang secara misterius telah menghasilkan dampak yang berlawanan -yakni materi yang saling bergabung dan membentuk galaksi-galaksi.”

Tidak ada keraguan, jika suatu tatanan sempurna muncul melalui sebuah ledakan, maka harus diakui bahwa terdapat campur tangan Pencipta yang berperan di setiap saat dalam ledakan ini.

Hal lain dari tatanan luar biasa yang terbentuk di alam menyusul peristiwa Big Bang ini adalah penciptaan ‘alam semesta yang dapat dihuni’. Persyaratan bagi pembentukan suatu planet layak huni sungguh sangat banyak dan kompleks, sehingga mustahil untuk beranggapan bahwa pembentukan ini bersifat kebetulan.

Setelah melakukan perhitungan tentang kecepatan mengembangnya alam semesta, Paul Davis, profesor fisika teori terkemuka, meyakini bahwa kecepatan ini memiliki ketelitian yang sungguh tak terbayangkan.

Davis berkata: “Perhitungan jeli menempatkan kecepatan pengembangan ini sangat dekat pada angka kritis yang dengannya alam semesta akan terlepas dari gravitasinya dan mengembang selamanya. Sedikit lebih lambat dan alam ini akan runtuh, sedikit lebih cepat dan keseluruhan materi alam semesta sudah berhamburan sejak dulu. Jelasnya, Big Bang bukanlah sekedar ledakan zaman dulu, tapi ledakan yang terencana dengan sangat cermat. “

Fisikawan terkenal, Prof Stephen Hawking mengatakan dalam bukunya A Brief History of Time, bahwa alam semesta dibangun berdasarkan perhitungan dan keseimbangan yang lebih akurat dari yang dapat kita bayangkan.

Dengan merujuk pada kecepatan mengembangnya alam semesta, Hawking berkata: “Jika kecepatan pengembangan ini dalam satu detik setelah Big Bang berkurang meski hanya sebesar angka satu per-seratus ribu juta juta, alam semesta ini akan telah runtuh sebelum pernah mencapai ukurannya yang sekarang.”

Paul Davis juga menjelaskan akibat tak terhindarkan dari keseimbangan dan perhitungan yang luar biasa akuratnya ini: “Adalah sulit menghindarkan kesan bahwa tatanan alam semesta sekarang, yang terlihat begitu sensitif terhadap perubahan angka sekecil apapun, telah direncanakan dengan sangat teliti. Kemunculan serentak angka-angka yang tampak ajaib ini, yang digunakan alam sebagai konstanta-konstanta dasarnya, pastilah menjadi bukti paling meyakinkan bagi keberadaan desain alam semesta.”

Berkenaan dengan kenyataan yang sama ini, profesor astronomi Amerika, George Greenstein menulis dalam bukunya The Symbiotic Universe: “Ketika kita mengkaji semua bukti yang ada, pemikiran yang senantiasa muncul adalah bahwa kekuatan supernatural pasti terlibat.”
Singkatnya, saat meneliti sistem yang luar biasa mengagumkan di alam semesta, akan kita pahami bahwa keberadaan dan cara kerjanya bersandar pada keseimbangan yang sangat sensitif dan tatanan yang terlalu kompleks untuk dijelaskan oleh peristiwa kebetulan.

Sebagaimana dimaklumi, tidaklah mungkin keseimbangan dan tatanan luar biasa ini terbentuk dengan sendirinya dan secara kebetulan melalui suatu ledakan besar. Pembentukan tatanan semacam ini menyusul ledakan seperti Big Bang adalah satu bukti nyata adanya penciptaan supernatural.

Rancangan dan tatanan tanpa tara di alam semesta ini tentulah membuktikan keberadaan Pencipta, beserta Ilmu, Keagungan dan Hikmah-Nya yang tak terbatas, Yang telah menciptakan materi dari ketiadaan dan Yang berkuasa mengaturnya tanpa henti.

lebih lengkap di sini

Hukum II Thermodinamika menggugurkan Teori Evolusi

Hukum II Termodinamika, yang dianggap sebagai salah satu hukum dasar ilmu fisika, menyatakan bahwa pada kondisi normal semua sistem yang dibiarkan tanpa gangguan cenderung menjadi tak teratur, terurai, dan rusak sejalan dengan waktu. Seluruh benda, hidup atau mati, akan aus, rusak, lapuk, terurai, dan hancur. Akhir seperti ini mutlak akan dihadapi semua makhluk dengan caranya masing-masing dan menurut hukum ini, proses yang tak terelakkan ini tidak dapat dibalikkan.

Kita semua mengamati hal ini. Sebagai contoh, jika Anda meninggalkan sebuah mobil di padang pasir, Anda tidak akan menemukannya dalam keadaan lebih baik ketika Anda menengoknya beberapa tahun kemudian. Sebaliknya, Anda akan melihat bannya kempes, kaca jendelanya pecah, sasisnya berkarat, dan mesinnya rusak. Proses yang sama tak terhindarkan berlaku pula pada makhluk hidup, bahkan lebih cepat.
Hukum II Termodinamika adalah cara mendefinisikan proses alam ini dengan persamaan dan perhitungan fisika.

Hukum fisika yang terkenal ini disebut juga “Hukum Entropi”. Entropi adalah selang ketidakteraturan yang terjadi dalam suatu sistem. Entropi sistem meningkat ketika sistem itu bergerak dari keadaan teratur, terorganisir, dan terencana menuju keadaan yang lebih tidak teratur, tersebar dan tidak terencana. Semakin tidak teratur suatu sistem, semakin tinggi pula entropinya. Hukum Entropi menyatakan bahwa seluruh alam semesta bergerak menuju keadaan yang semakin tidak teratur, tidak terencana, dan tidak terorganisir.

Keabsahan Hukum II Termodinamika atau Hukum Entropi ini telah terbukti, baik secara eksperimen maupun teoretis. Para ilmuwan terpenting di masa kita menyetujui fakta bahwa Hukum Entropi akan menjadi paradigma yang mendominir hingga periode sejarah mendatang. Albert Einstein, ilmuwan terbesar di masa kita ini mengakuinya sebagai “hukum utama dari semua sains”. Sir Arthur Eddington juga menyebutnya sebagai “hukum metafisika tertinggi di seluruh jagat”.

Teori evolusi adalah klaim yang diajukan dengan sepenuhnya mengabaikan hukum fisika yang mendasar dan memiliki kebenaran universal ini. Mekanisme yang diajukan evolusi benar-benar bertentangan dengan hukum ini. Teori evolusi menyatakan bahwa atom-atom dan molekul-molekul yang tidak hidup, tidak teratur dan tersebar, sejalan dengan waktu menyatu secara spontan dalam urutan dan perencanaan tertentu membentuk molekul-molekul yang luar biasa kompleks seperti protein, DNA dan RNA. Kemudian mereka lambat laun menghasilkan jutaan spesies makhluk hidup yang berbeda, bahkan dengan struktur yang lebih kompleks lagi. Menurut teori evolusi, proses yang diperkirakan ini – yang menghasilkan struktur yang lebih terencana, lebih teratur, lebih kompleks dan lebih terorganisir – terbentuk dengan sendirinya pada tiap tahapan dalam kondisi alamiah. Hukum Entropi menegaskan bahwa apa yang disebut proses alamiah ini jelas bertentangan dengan hukum-hukum fisika.

Ilmuwan evolusionis juga menyadari fakta ini. J. H. Rush menyatakan:

Dalam perjalanan evolusinya yang kompleks, kehidupan menunjukkan perbedaan yang sangat besar dibandingkan kecenderungan yang dinyatakan Hukum II Termodinamika. Sementara Hukum II menyatakan pergerakan irreversibel ke arah entropi yang lebih tinggi dan tak teratur, kehidupan terus berevolusi ke tingkat keteraturan yang lebih tinggi.

Dalam sebuah artikel di majalah Science, ilmuwan evolusionis, Roger Lewin, menyatakan kebuntuan evolusi secara termodinamika:
Satu masalah yang dihadapi para ahli biologi adalah pertentangan nyata oleh evolusi terhadap Hukum II Termodinamika. Semua sistem seharusnya rusak sejalan dengan waktu, semakin tidak teratur, bukan sebaliknya.

Ilmuwan evolusionis lainnya, George Stravropoulos, menyatakan kemustahilan termodinamis dari pembentukan kehidupan secara spontan dan ketidaklayakan penjelasan adanya mekanisme-mekanisme makhluk hidup yang kompleks melalui hukum-hukum alam. Ini dinyatakannya dalam majalah evolusionis terkenal, American Scientist:

Namun sesuai dengan Hukum Termodinamika II, dalam kondisi biasa tidak ada molekul organik kompleks dapat terbentuk secara spontan, tetapi sebaliknya akan hancur. Memang, semakin kompleks sebuah molekul, semakin tidak stabil keadaannya dan semakin pasti kehancurannya, cepat atau lambat. Kendatipun melalui pembahasaan yang membingungkan atau sengaja dibuat membingungkan, fotosintesis dan semua proses kehidupan, serta kehidupan itu sendiri, tidak dapat dipahami berdasarkan ilmu termodinamika ataupun ilmu pasti lainnya.

Wednesday, October 10, 2007

Jeda Tebang dan Konversi Hutan - Keluar dari bencana ekologis

Rully Syumanda

Memasuki tahun 2007, Jeda Tebang menjadi kebijakan yang paling sering diperbincangkan disektor kehutanan di Indonesia. Berbagai pihak, termasuk sejumlah punggawa kunci dalam Pemerintah Indonesia juga menyebutkan jeda tebang adalah cara terbaik untuk keluar dari berbagai bencana dan dampak negatif dari ekstraktif industri di sektor kehutanan. .

Secara definisi Jeda Tebang adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen.

Jeda Tebang dilaksanakan selama paling sedikit 15 tahun. Sebelum berakhir, dilakukan evaluasi untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Masa limabelas tahun dianggap cukup untuk:

  1. memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi
  2. memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih
  3. mempersiapkan Protocol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat
  4. mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan assesment terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru maupun yang lama
  5. mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.
Mengapa Harus Jeda Tebang
Jeda Tebang adalah pilihan yang paling masuk akal. Setiap tahunnya kita kehilangan hutan lebih dari dua juta hektar . Melihat pada cadangan Hutan Produksi di Indonesia seluas 41,25 juta ha , melihat pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri hanya sanggup memenuhi separuh dari kebutuhan industri pulp, dan melihat bahwa biofuel akan memicu percepatan pelepasan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit, diperkirakan bahwa pada tahun 2012 hutan alam dataran rendah di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi musnah. Pada tahun 2022, seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia musnah.

Berbagai inisiatif untuk memperbaiki sektor kehutanan seperti FLEGT tidak akan mampu menekan laju kerusakan karena hanya mengatur tentang penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan kayu. FLEGT tidak menyentuh akar masalah di sektor kehutanan yaitu pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara supply dan demand di industri kehutanan. Disamping itu, FLEGT juga tidak menyentuh akar masalah yang memicu percepatan deforestasi Indonesia yaitu pola konsumsi. Sertifikasi juga tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepanjang bersifat voluntary. Sertifikasi memberikan ilusi seolah ada pengelolaan hutan yang lestari. Sama seperti FLEGT, sertifikasi mengalihkan persoalan fundamental kehutanan.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut diatas muncul justru dari kenyataan yang ada pada industri kehutanan itu sendiri. Laju tebangan illegal pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 19,051 juta meter kubik dengan kerugian Rp. 22,862 trilyun rupiah . Angka ini sedikit kecil bila dibandingkan dengan devisa yang diperoleh dari eksport kehutanan minus pulp yang mencapai Rp. 29,536 triliun . Namun dengan kerugian banjir dan longsor senilai Rp. 8,158 triliun, angka kerugian bertambah menjadi 31,020 triliun rupiah . Ringkasnya, setiap tahunnya industri kehutanan berkontribusi terhadap defisit devisa negara sebesar Rp. 1,484 triliun rupiah. Belum termasuk kerugian yang muncul dari penyelundupan kayu, biaya konflik dan nilai ekologi sumberdaya hutan.

Penyelesaian atas masalah disektor kehutanan tentu tidak akan mudah. Operasi illegal logging hanya mampu menyentuh kurang dari 8,7 persen kayu yang ditebang secara illegal setiap tahunnya. Revitalisasi dan restrukturisasi industri di tingkat nasional juga berjalan saling berseberangan dengan peningkatan kapasitas industri. Pada saat audit dilakukan pemerintah justru meningkatkan kapasitas produksi pulp di Sumatera dan berencana untuk membangun satu industri pulp di Kalimantan dan satu di Papua.

Ringkasnya, ada banyak kepentingan yang saling berseberangan disektor kehutanan. Satu sisi, ada masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan disisi lain ada dorongan untuk melakukan ekstraksi terus menerus untuk memenuhi cadangan devisa dan pembayaran hutang bagi industri yang tertanggung di BPPN. Kordinasi pusat dan daerah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengakibatkan informasi dan perkembangan industri di tingkat kabupaten tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Membuat perencanaan pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada asumsi-asumsi. Membuat solusi terhadap pembangunan disektor kehutanan tidak menyentuh tiga masalah mendasar: tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan di industri kayu.

Pilihan Jeda Tebang diambil dikarenakan ada banyak kepentingan yang membuat solusi terhadap masalah menjadi sulit didapatkan. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.

Keuntungan Jeda Tebang
Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain:
  • Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
  • Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat;
  • Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumber daya hutan;
  • Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor seluas-luasnya;
  • Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing;
  • Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku; dan
  • Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya.

Kerugian bila Jeda Tebang tidak dilaksanakan
Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:
  • Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
  • Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
  • Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
  • Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan hutan alam;
  • Defisit kehutanan akan terus bertambah;
  • Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022;
  • Indonesia akan kehilangan basis industri diluar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4 milyar dan bila sumberdaya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang;


Tahapan Jeda Tebang dan Implementasi Reformasi Kehutanan

Jeda Tebang hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Jeda Tebang menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Jeda Tebang juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah Jeda Tebang dapat dilakukan selama satu tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian Pengeluaran Ijin-Ijin Baru

  1. Pemerintah menghentikan pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK dan perkebunandiatas hutan alam.
  2. Pemerintah mengeluarkan Perpres yang mengatur penggunaan kayu-kayu sitaan hasil dari praktek penebangan liar agar dapat langsung dikelola oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kebijakan impor bagi industri olah kayu.
  3. Menyusun strategi pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat untuk kedepannya
  4. Melakukan audit terhadap berbagai perizinan dan penilaiannya dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga. Hasil audit kemudian digunakan untuk menghentikan ijin HPH dan IPK yang bermasalah, terutama yang melakukan penebangan diluar batas yang ditentukan dan izin yang dikeluarkan tanpa mengikuti peraturan penrundangan yang berlaku, Penegakan hukum kemudian dilakukan bagi konsesi-konsesi yang bermasalah.

Tahap II: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 8 bulan setelah Tahap I, pemerintah kemudian:
  1. Mengeluarkan Perpres yang menghentikan seluruh penebangan kayu di hutan alam.
  2. Melakukan persiapan untuk inventarisir wilayah hutan dengan melakukan zonasi ulang mengacu pada TGHK 94
  3. Melakukan persiapan untuk merekalkulasi dan memprediksi kebutuhan kayu masyarakat untuk lima belas tahun kedepan.
  4. Mendorong munculnya gerakan penghematan kayu di tinagkat masyarakat
  5. Mendorong revitalisasi system adat dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan
  6. Melakukan persiapan untuk mendistribusikan lahan-lahan kritis yang terletak di hutan dataran rendah kepada masyarakat termasuk konsesi-konsesi perkebunan yang tidak ditanami untuk kemudian melakukan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Tahap III: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah sosial

Dalam waktu 4 bulan setelah Tahap II, Pemerintah kemudian:
  1. Melakukan jeda tebang di hutan alam dengan menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu selama 15 tahun. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di atas hutan tanaman yang berasal dari penanaman sendiri atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal yang untuk ini diatur melalui peraturan tersendiri dan dilakukan pengawasan ketat.
  2. Menyusun kebijakan untuk memberikan insentif bagi pembangunan industri hilir komoditi unggulan yang tujuannya untuk menyerap tenaga kerja dari sektor perkebunan sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi.

Selama masa lima belas tahun, pemerintah mempersiapkan kebijakan yang mengatur tentang Protocol Resolusi Konflik sebagai panduan kedepannya untuk menyelesaikan konflik-konflik disektor kehutanan, Standar Pelayanan Ekologi sebagai guidelines dalam mengeluarkan kebijakan penguasahaan dibidang kehutanan dan perkebunan, menyusun kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan pada masyarakat dan lalu lintas perdagangan kayu.

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu dapat tetap jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu dari luar negeri. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri sendiri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

Monday, October 8, 2007

Sebagian besar bahan baku kertas anda adalah curian

rully syumanda

Industri pulp dan kertas, termasuk salah satu sektor yang pertumbuhannya pesat. Pada 1987, total kapasitas produksi industri kertas tercatat baru sebesar 980.000 ton. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1997, kapasitas produksinya telah melesat menjadi sebesar 7.232.800 ton.


Jika memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada 1998-2005, maka kapasitas produksi industr
i kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat bertambah menjadi 13.696.170 ton.

Demikian juga halnya dengan industri pulp. Bila tahun 1987, kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, pada 1997, kapasitasnya telah meningkat menjadi 3.905.600 ton. Ditambahkan Togu, penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang sudah ada dan adanya rencana investasi baru, periode tahun 2000 - 2005 akan menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir 2005 menjadi total 12.745.600 ton.

Dijelaskan, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi, ekspor pulp dan kertas Indonesia terus meningkat. Jika sebelumnya Indonesia selalu menjadi net importir pulp, maka sejak tahun 1995, Indonesia berbalik menjadi net eksportir pulp.

Selanjutnya di http://rullysyumanda.wordpress.com/2007/06/24/sebagian-besar-bahan-baku-kertas-anda-adalah-curian/

Potret Hutan Indonesia

Rully Syumanda

Dilihat dari sudut manapun, pembicaraan tentang hutan alam Indonesia selalu menarik. Meski pernah tercatat sebagai negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia (setelah Brasil dan Kongo), Indonesia kini juga tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi didunia. Pembalakan liar, legal dan illegal konversi yang beraroma korupsi menjadi biang dari semuanya.

Sampai dengan tahun 2005, pemerintah mengklaim Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta hektar dengan fungsi konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4 juta ha), hutan produksi terbatas (21,6 juta ha), hutan produksi (35,6 juta ha), dan hutan produksi konversi (14,0 juta ha)


Meskipun hanya memiliki luasan 1,3% dari seluruh daratan dunia, namun kekayaan didalamnya meliputi 38.000 jenis tumbuhan (10% dari flora dunia yang ada di dunia berada di Indonesia), ditambah 515 jenis mamalia (12% dari mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3% dari reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17% jenis burung dunia), amphibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis (IBSAP, 2003). Sejumlah species langka juga ada didalamnya seperti orangutan, harimau, badak dan gajah asia yang sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terkaya dengan kehidupan alam liarnya (wildlife).

Selanjut di http://rullysyumanda.wordpress.com/2007/07/11/potret-hutan-indonesia/



Potret Hutan Indonesia

Dilihat dari sudut manapun, pembicaraan tentang hutan alam Indonesia selalu menarik. Meski pernah tercatat sebagai negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia (setelah Brasil dan Kongo), Indonesia kini juga tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi didunia. Pembalakan liar, legal dan illegal konversi yang beraroma korupsi menjadi biang dari semuanya.

Sampai dengan tahun 2005, pemerintah mengklaim Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta hektar dengan fungsi konservasi (23,2 juta ha), kawasan lindung (32,4 juta ha), hutan produksi terbatas (21,6 juta ha), hutan produksi (35,6 juta ha), dan hutan produksi konversi (14,0 juta ha)


Meskipun hanya memiliki luasan 1,3% dari seluruh daratan dunia, namun kekayaan didalamnya meliputi 38.000 jenis tumbuhan (10% dari flora dunia yang ada di dunia berada di Indonesia), ditambah 515 jenis mamalia (12% dari mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3% dari reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17% jenis burung dunia), amphibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis (IBSAP, 2003). Sejumlah species langka juga ada didalamnya seperti orangutan, harimau, badak dan gajah asia yang sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terkaya dengan kehidupan alam liarnya (wildlife).

Selanjut di http://rullysyumanda.wordpress.com/2007/07/11/potret-hutan-indonesia/



Sunday, October 7, 2007

KISS - Keep It Simple Stupid

Seringkali kita terkecoh saat menghadapi suatu masalah, dan walaupun masalah tersebut terpecahkan, tetapi pemecahan yang ada bukanlah suatu pemecahan yang efisien dan justru malah terlalu rumit.

Mari kita coba lihat dalam tiga kasus di bawah ini :

1. Salah satu dari kasus yang ada adalah kasus kotak sabun yang kosong, yang terjadi di salah satu perusahaan kosmetik yang terbesar di Jepang. Perusahaan tersebut menerima keluhan dari pelanggan yang mengatakan bahwa ia telah membeli kotak sabun (terbuat dari bahan kertas) kosong.

Dengan segera pimpinan perusahaan menceritakan masalah tersebut ke bagian pengepakan yang bertugas untuk memindahkan semua kotak sabun yang telah dipak ke departemen pengiriman. Karena suatu alasan, ada satu kot ak sabun yang terluput dan mencapai bagian pengepakan dalam keadaan kosong. Tim manajemen meminta para teknisi untuk memecahkan masalah tersebut.

Dengan segera, para teknisi bekerja keras untuk membuat sebuah mesin sinar X dengan monitor resolusi tinggi yang dioperasikan oleh dua orang untuk melihat semua kotak sabun yang melewati sinar tersebut dan memastikan bahwa kotak tersebut tidak kosong. Tak diragukan lagi, mereka bekerja keras dan cepat tetapi biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit.

Tetapi saat ada seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil dihadapkan pada permasalahan yang sama, ia tidak berpikir tentang hal-hal yang rumit, tetapi ia muncul dengan solusi yang berbeda. Ia membe li sebuah kipas angin listrik untuk industri yang memiliki tenaga cukup besar dan mengarahkannya ke garis pengepakan. Ia menyalakan kipas angin tersebut, dan setiap ada kotak sabun yang melewati kipas angin tersebut, kipas tersebut meniup kotak sabun yang kosong keluar dari jalur pengepakan, karena kotak sabun terbuat dari bahan kertas yang ringan.

2. Pada saat NASA mulai mengirimkan astronot ke luar angkasa, mereka menemukan bahwa pulpen mereka tidak bisa berfungsi di gravitasi nol, karena tinta pulpen tersebut tidak dapat mengalir ke mata pena. Untuk memecahkan masalah tersebut, mereka menghabiskan waktu satu dekade dan 12 juta dolar.
Mereka mengembangkan sebuah pulpen yang dapat berfungsi pada keadaan- keadaan seperti gravitasi nol, terbalik, dalam air, dalam berbagai permukaan termasuk kristal dan dalam derajat temperatur mulai dari di bawah titik beku sampai lebih dari 300 derajat Celcius.

Dan apakah yang dilakukan para orang Rusia ?. Mereka menggunakan pensil!.

3. Suatu hari, pemilik apartemen menerima komplain dari pelanggannya. Para pelanggan mulai merasa waktu tunggu mereka di pintu lift terasa lama seiring bertambahnya penghuni di apartemen itu. Dia (pemilik) mengundang sejumlah pakar untuk men-solve.

Satu pakar menyarankan agar menambah jumlah lift. Tentu, dengan bertambahnya lift, waktu tunggu jadi berkurang. Pakar lain meminta pemilik untuk mengganti lift yang lebih cepat, dengan asumsi, semakin cepat orang terlayani. Kedua saran tadi tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tetapi, satu pakar lain hanya menyarankan satu hal, “Inti dari komplain pelanggan anda adalah mereka merasa lama menunggu”. Pakar tadi hanya menyarankan untuk menginvestasikan kaca cermin di depan lift, agar pelanggan teralihkan perhatiannya dari pekerjaan “menunggu” dan merasa “tidak menunggu lift”.

tahukah anda bagaimana sumpit dibuat

  1. Dipotong dari pohon bambu
  2. Diproduksi oleh industri rumah tangga (contoh gambar dari Vietnam Tengah)
  3. Di “putihkan” dengan menggunakan sulfur dan hidrogen peroxida (tanpa disinfektan)
  4. Proses pengeringan seadanya
  5. Di kemas seadanya juga untuk di export ke luar negeri
  6. Pengiriman ke luar negeri menggunakan kapal laut (terlalu mahal jika menggunakan pesawat) Dibutuhkan waktu yang cukup lama, contohnya 1 bulan dari Vietnam ke Taiwan . Sementara itu, sumpit yang dikemas dengan seadanya akan sangat besar sekali kemungkinan untuk terkontaminasi oleh kotoran/sarang tikus dan kecoa.
  7. Proses pengemasan (tanpa disinfektan) Contoh kasus, untuk setiap penerimaan kargo sumpit di taiwan , akan langsung di distribusikan ke insdustri rumahan yang akan mengerjakan pengemasannya, dan tanpa proses disinfektan (sterilisasi) akan langsung dikirim ke restoran-restoran sebagai titik akhir distribusi.
  8. Dan langsung masuk ke mulut Anda
  9. Tahukan Anda, ada ribuan bahkan jutaan monyet yang menetap di dalam sumpit ?
  10. Sudah kelihatan belum monyet-monyet tersebut ?
  11. Inilah wajah monyet-monyet tersebut. Semua sisa cairan (pemutih, sulfur, hidrogen peroxida, kotoran tikus, kotoran kecoa, telor kecoa, telor ulat dsb) akan terus menetap dilubang-lubang kecil tersebut sampai Anda menggunakannya. Pernahkan Anda mendengar kasus keluarnya ulat dari sumpit saat digunakan di mangkok kuah yang panas ?

Sebuah percobaan yang dilakukan oleh pelajar sekolah dasar :

  1. Rendamlah sumpit bambu ini ke dalam air selama 1 minggu, airnya akan menjadi BAU.
  2. Kacang polong yang ditanam dengan air rendaman ini akan tumbuh lebih lambat, dan berhenti tumbuh ketika mencapai 5-6 cm dan kemudian mati.
  3. Asap pembakaran dari sumpit ini akan bersifat asam.

Cara terbaik adalah bawahlah sumpit Anda sendiri.

Sebuah pohon yang berusia 20 tahun bisa menghasilkan sumpit sebanyak 3000 sampai 4000 pasang.
Taiwan menggunakan sumpit sebanyak 100 triliun pasang setiap tahun, artinya 29 juta pohon hilang setiap tahunnya .

Kode babi pada makanan berkemas

Assalamu’alaikum

Oleh Dr.M. Anjad Khan

Salah seorang rekan saya bernama Shaikh Sahib, bekerja sebagai pegawai di Badan Pengawasan Obat & Makanan (POM) di Pegal, Perancis. Tugasnya, mencatat semua merk barang, makanan & obat-obatan

Produk apapun yang akan disajikan suatu perusahaan ke pasaran, bahan-bahan produk tesebut harus terlebih dulu mendapat ijin dari BPOM Prancis dan Shaikh Sahib bekerja di bagian QC. Tak heran jika ia mengetahui berbagai macam bahan makanan yang dipasarkan. Banyak dari bahan-bahan tersebut dituliskan dengan istilah ilmiah, namun ada juga beberapa yang dituliskan dalam bentuk matematis seperti E-904, E-141.

Awalnya, saat Shaikh Sahib menemukan bentuk matematis, dia penasaran lalu menanyakan kode matematis tersebut kepada orang Prancis yang berwenang dalam bidang itu. Orang Prancis menjawab, Kerjakan saja tugasmu, dan jangan banyak tanya …!

Jawaban itu, semakin menimbulkan kecurigaan Sahib, lalu ia pun mulai mencari tahu kode matematis dalam dokumen yang ada. Ternyata, apa yang dia temukan cukup mengagetkan kaum muslimin dunia. Hampir di seluruh negara bagian barat, termasuk Eropa pilihan utama untuk daging adalah daging babi. Peternakan babi sangat banyak terdapat di negara- negara tersebut. Di Perancis sendiri jumlah peternakan babi mencapai lebih dari 42.000 unit.

Jumlah kandungan lemak dalam tubuh babi sangat tinggi dibandingkan dengan hwan lainnya. Namun, orang Eropa & Amerika berusaha menghindari lemak-lemak itu. Yang menjadi pertanyaan dikemanakan lemak-lemak babi tersebut ? Babi-babi dipotong di rumah jagal yang diawasi BPOM, tapi yang bikin pusing POM adalah membuang lemak yang sudah dipisahkan dari daging babi.

Dahulu sekitar 60 tahun lalu, lemak-lemak babi itu dibakar. Kini mereka pun berpikir untuk memanfaatkan lemak-lemak tersebut. Sebagai awal uji cobanya, mereka membuat sabun dengan bahan lemak babi, dan ternyata berhasil.

Lemak-lemak itu diproses secara kimiawi, dikemas rapi dan dipasarkan. Negara di Eropa memberlakukan aturan yang mewajibkan bahan setiap produk makanan, obat-obatan harus dicantumkan pada kemasan. Karena itu, bahan dari lemak babi dicantumkan dengan nama Pig Fat (lemak babi) pada kemasan produknya.

Agar mudah dipasarkan, penulisan lemak babi dalam kemasan diganti dengan lemak hewan. Ketika produsen ditanya pihak berwenang dari negara Islam, maka dijawab lemak tersebut adalah lemak sapi & domba. Meskipun begitu lemak-lemak itu haram bagi muslim, karena penyembelih anny a tidak sesuai syariat Islam.

Label baru itu dilarang keras masuk negara Islam, akibatnya produsen menghadapi masalah keuangan sangat serius, karena 75% penghasilan mereka diperoleh dengan menjual produk ke negara Islam, mengingat laba yang dicapai bisa mencapai miliaran dollar.

Akhirnya, mereka membuat kodifikasi bahasa yang hanya dimengerti BPOM, sementara orang lain tak ada yang tahu. Kode diawali dengan E - CODES, E-INGREDIENTS, ini terdapat dalam produk perusahaan mutinasional, antara lain : pasta gigi, pemen karet, cokelat, gula2, biskuit, makanan kaleng, buah2an kaleng, dan beberapa multivitamin serta masih banyak lagi jenis makanan & obat2an lainnya.

Sejak produk2 diatas banyak dikonsumsi negara2 muslim, kita sebagai negara muslim sedang mengalami masalah penyakit masyarakat, yakni : seperti hilangya rasa malu, kekerasan, seks (kumpul kebo).

Karena itu, saya mohon kepada sesama muslim dimana pun, untuk memeriksa secara seksama bahan2 produk yang akan kita konsumsi dan mencocok anny a dengan daftar kode E-CODES, berikut ini karena produk dengan kode-kode di bawah ini, positif mengandung lemak babi :

E100, E110, E120, E-140, E141, E153, E210, E213, E214, E216, E234, E252, E270, E280, E325, E326, E327, E337, E422, E430, E431, E432, E433, E434, E435, E436, E440, E470, E471, E472, E473, E474, E475, E476, E477, E478, E481, E482, E483, E491, E492, E493, E494, E495, E542, E570, E572, E631, E635, E904.

Adalah tanggungjawab kita bersama untuk mengikuti syari’at Islam dan juga memberitahukan informasi ini kepada sesama muslim lainnya.

Semoga manfaat,

M. Anjad Khan
Medical Research Institute United States

Saturday, October 6, 2007

Ketika Aku Sudah Tua

Dari Papa untuk Lintang


Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku.

Ketika pakaianku terciprat sop, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dulu aku mengajarimu.

Ketika aku berulang-ulang berkata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dulu aku begitu sabar menjawab setiap ‘mengapa’ darimu. Ketika aku tak dapat lagi berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku, seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan sewaktu masih kecil
Ketika aku sewaktu melupakan pembicaraan kita, berilah waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping dan mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau melihat aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah dan dukunglah aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini. Sekarang temani aku menjalani sisa kehidupanku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Sebuah Koin penyok

Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. “Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.

“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.

Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.

Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?**

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
merdekalah orang2 yg senantiasa tetap menjaga sikap sederhana & tak sombong

Ketika Tuhan Menciptakan Ibu

Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya. Kini giliran diciptakan para ibu.

Seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut: “Tuhan, banyak nian waktu yg Tuhan habiskan untuk menciptakan ibu ini?” dan Tuhan menjawab pelan: “Tidakkah kau lihat perincian yang harus dikerjakan?

1) Ibu ini harus waterproof (tahan air / cuci) tapi bukan dari plastik.

2) Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai

3) Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya

4) Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan anak-anaknya.

5) Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukan hati anaknya.

6) Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan

7) Enam pasang tangan!!

Malaikat itu menggeleng-gelengkan kepalanya “Enam pasang tangan…? tsk tsk tsk” — “Tentu saja! Bukan tangan yang merepotkan Saya, melainkan tangan yang melayani sana sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik..” balas Tuhan.

08) Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang ibu.

“Bagaimana modelnya?” Malaikat semakin heran.Tuhan mengangguk- angguk. “Sepasang mata yang dapat menembus pintu yang tertutup rapat dan bertanya: “Apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?”,padahal sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya. “Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, ia dapat melihat apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu harus bisa bicara! Mata itu harus berkata: “Saya mengerti dan saya sayang padamu”. Meskipun tidak diucapkan sepatah kata pun. “Tuhan”, kata malaikat itu lagi, “Istirahatlah” “Saya tidak dapat, Saya sudah hampir selesai”

09) Ia harus bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit.
10) Ia harus bisa memberi makan 6 orang dengan satu setengah ons daging.
11) Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahun mandi pada saat anak itu tidak ingin mandi

Akhirnya Malaikat membalik balikkan contoh Ibu dengan perlahan.

“Terlalu lunak”, katanya memberi komentar.”Tapi kuat”, kata Tuhan bersemangat.

“Tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung,pikul dan derita. “Apakah ia dapat berpikir?” tanya malaikat lagi.

“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi”, kata Sang Pencipta.

Akhirnya Malaikat menyentuh sesuatu dipipi. “Eh, ada kebocoran disini”

“Itu bukan kebocoran”, kata Tuhan. “Itu adalah air mata…. air mata kesenangan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata kesepian dan air mata kebanggaan”

Saturday, August 4, 2007

Voices from North and South against agrofuels

While the promotion of agrofuels -wrongly called biofuels- continues increasing and resulting in the establishment of more and more plantations in Southern countries to produce them, many voices of representatives from North and South denounce their impacts and intend to influence those who are taking decisions to promote them.

One of the decisions that is already causing a considerable increase in the production of agrofuels, is the one taken by the European Union which established the target that by the year 2020, 10 % of transport should be using agrofuels.

It is important to underscore that this decision was taken in spite of the documentation provided to the European Union proving that this decision would be affecting the majority of the world’s population, that lives in Southern countries.

By the end of June this year, more than 15 representatives of non-governmental organisations, Indigenous Peoples’ organisations and other social movements met with the European Parliament in Brussels, the Dutch Parliament in The Hague and with other representatives of European organizations and govermental representatives and participated at the XII Meeting of the Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice of the UN Convention of Biodiversity in Paris. Many were the testimonies about the direct and indirect impacts of agrofuel production on the global South.

Among others, representatives from Asia stated that oil palm plantations are a tremendous disaster for indigenous peoples and local communities in Indonesia and Papua New Guinea

Representatives from Latin America, described how sugar cane, soy and eucalyptus monocultures have caused massive migration, expulsion of small farmers from their lands and have increased rural and urban poverty in Brazil; how in Colombia agrofuel plantations are exacerbating the problems of sovereignty and land tenure, that are a key cause of conflict in the country; and how tree plantations -even the ones certified by FSC- are having negative impacts on people and the environment in Uruguay.

African representatives pointed out that water resources, biodiversity, local communities’ security, health and economies are being affected in those African countries where monoculture tree plantations are already a reality.

During the same days, organisations from the North and the South called for a moratorium on European Union imports of agrofuels from large scale monoculture plantations; and on their promotion through targets and incentives, including tax breaks, subsidies, and financing through carbon trading mechanisms, international development aid, or loans from international financial institutions such as the World Bank. Such a moratorium will allow time for the in depth study of the tremendous impacts of large scale monocultures already felt by their expansion serving other industries as pulp and paper.

In Paris, at a meeting of a UN scientific advisory body on biodiversity, the majority of government delegates expressed serious concerns about the risks of large-scale production of biofuels to forests, ecosystems, indigenous peoples and local communities. A large number of NGOs and Indigenous Peoples Organizations from around the world present at this meeting also expressed their concerns about the risks and made a call for their evaluation before continuing with the promotion of agrofuels.

While all this was hapenning in Europe, representatives from organizations at an International Meeting on Agrofuels and Food Sovereignty held in Quito from June 27 to 29 presented personally a letter to the Minister of Energy containing a strong message to his government:

“The present government faces two alternatives: to support a production model based on diversity, sustainability, that garantees food sovereignty, the continuity of the way of life of Indigenous Peoples, afro-descendents and peasants and the conservation of the biodiversity, or support agri-business. We hope that the government’s decision will be in favor of the people”.

That same letter is valid for all governments –North and South- that are currently taking decisions on the issue of agrofuels. The decision they take will show if they are in favour or against the people.

World Rainforest Movement

Saturday, July 21, 2007

Ecological Disaster

Rully Syumanda
Jakarta 10 April 2007


By definition, a disaster is a situation in which the community’s normal way of life fails as a consequence of extraordinarily adverse events, either natural or human-made.

Indonesia is a country that is susceptible and sensitive to disasters, both those occurring naturally and those that eventuate as a result of human activity. In the past seven years (2000-2006), there have been 392 incidents of flooding and landslides throughout Indonesia, excluding Papua, Jakarta and other capital cities. These have resulted in 2,393 victims, severe damage to more than 188,000 homes, and severe damage to about half a million hectares of land, to the extent that it is no longer usable.

The disasters have incurred total direct losses of 36 trillion Rupiah (approx US$4 billion) and indirect losses of 144 trillion Rupiah (approx US$16 billion). These figures are equivalent to 28 percent of the 2007 National Budget.

Kartodihardjo and Jhamtani describe this as a development disaster, defined as the combination of environmental crisis due to development as well as the foibles of nature herself, which are exacerbated by the destruction of natural resources and the environment, and the injustice of social development policy. Disasters such as floods, droughts and landslides are often perceived as natural disasters that are simply due to fate. In fact, these phenomena are more often caused by the cumulative and ongoing mismanagement of the environment and natural assets.

In coastal Java, from 1996 to 1999, at least 1,289 villages were affected by flooding. This number increased almost threefold (2,823 villages) by the end of 2003, an implication of the extensive damage to the coastal ecosystem due to land conversion, destructive fishing, reclamation and marine pollution (80% of industry in Java is located along the northern coast of Java).

As well as floods, droughts are also occurring with increasing frequency in Indonesia. Lately, the Indonesian dry season has become longer and more unpredictable, even considering that Indonesia is naturally located on the geographic trajectory of the El Nino-Southern Oscillation (ENSO). For example, although the 2003 dry season was classed as normal, there were 78 incidents of drought recorded in 11 provinces, with West and Central Java the worst affected. The main impacts of the droughts were reduction in the availability of water in both the reservoirs and river courses, with most severe impacts in Java. Subsequently, the security of clean water, food production and electricity were also affected.

Drought is also connected with forest fires, because dry weather triggers expansion of forest and land fires as well as the spread of smoke.

These disasters not only affected human lives and property, but also disrupted agricultural production, polluted water resources, and caused more extensive social problems, such as refugees and migration. Although the frequency of disasters has increased significantly in the past few years, the government has not conducted a thorough study of their patterns and causes.

There is a significant threat to the three basic necessities for sustainable life, namely water, food and energy. Regarding water, the biggest threat comes from significant escalation in the demand for potable water and the increasing limitation of its availability. This is caused by decline in water quality (due to pollution, intrusion and destruction of water sources) and water quantity (due to privatization, commoditization of water and inefficient distribution). In Jakarta, for instance, less than half of its citizens are serviced by the Drinking Water Company (PAM) network. Consequently, the majority of people extract ground water (using wells or pumps) and also buy packaged drinking water or water from itinerant traders. Meanwhile, some 70 percent of groundwater in Jakarta shows indications of being unsuitable for drinking. Water has transformed from a basic need to a commodity.

A similar situation applies to food. The loss of community sovereignty over food has ended in cases of starvation and malnutrition. In East Nusa Tenggara in 2003, more than 13,000 infants suffered from malnutrition, and as many as 36 died. The quality of Indonesia’s human resources is ranked 111 out of 177 countries (UNDP, 2004).

Indonesia’s seas are extensive and are certainly capable of becoming the largest contributor to world fisheries, with ocean fisheries yielding 3.6 million tonnes in 1997 (Burke, et al., 2002). Ironically, on a national level, fish consumption is only about 19 kg/capita/year, which is lower than Vietnam and even Malaysia, where the level of consumption reaches 33 kg/capita/year. Fishers are the most impoverished community group in Indonesia and are becoming increasingly marginalized over time.

The green revolution has eradicated 75% of 12,000 local paddy rice varieties and spawned a new dependence on chemical fertilizers and pesticides supplied by foreign companies. Local biodiversity and food security has been ruined. Our country has been an absolute rice importer since the mid ‘90s.

Liberalization of trade has altered the function of food from being multidimensional to being merely a trade commodity. Even the WTO defines food security as the “availability of food in the market”. In practice this concept forces people in developing countries to fulfill the food needs of developed countries through the free market mechanism, which has resulted in catastrophe in some places.

Energy sovereignty is also on the line. Transnational corporations (TNCs) have extracted 75% of our oil reserves to date. 58% of natural gas production and 70% of coal is exported each year. Meanwhile 90% of the of the Indonesian people has become dependent on refined fuel oil and 45% of households lack access to electricity. There has never been a real strategy for reducing dependence on refined fuel oil. Rather, there has been a push for continued consumption in order to benefit a handful of people.

At the same time, the choice of cheap, easily accessed and clean energy has become very scarce. The country is so submissive to the dictates of the free market, and people have become so dependent, that they are forced to buy energy at world market prices. Increase in the price of refined fuel oil, according to some research, has increased poverty by 11%. The total population of poor in Indonesia rose to 41% after escalation in fuel prices.

Increase in the prices of consumables, low purchasing power, and unavailability of jobs has not only increased the population of poor people. Much media coverage also reports a shift in the pattern of consumption, especially as regards women and children. People have been forced to reduce their nutritional intake in order to buy kerosene. Then, shrinkage of the job market combined with increase in the price of consumables has served to encourage people to participate in damaging the environment, for the sake of something to eat.

The widespread involvement of people in illegal mining that is destructive to the environment in South Kalimantan, West Java, North Sulawesi, East Kalimantan and Papua are implications of the country’s failure to safeguard its people’s livelihoods.

In view of the above phenomena, ecological destruction and climate patterns are important issues that must be addressed. Regarding the water crisis, for instance, an imminent crisis is predicted for Java-Bali. However, this phenomenon has not served as a lesson in other areas, like Sumatra, Kalimantan and Sulawesi, where water crises are occurring with increasing regularity. In the dry season we are always short of water, and in the wet season we are struck by floods. All of the infrastructure set up to manipulate the environment has failed, because the source of the problem has not been properly addressed. Crisis after crisis as a result of this mismanagement will eventually lead to increasingly apparent ecological disasters.

The ecological disasters themselves are the accumulation of ecological crises caused by the injustice and failure of the natural resource management system, which has led to the collapse of community livelihoods. Indonesia’s sustainability is currently at a critical point because ecological disasters are occurring cumulatively and simultaneously in various locations, without any significant attempt to reduce the susceptibility or sensitivity of the community to the impacts of ecological disasters.

Main Signs of Ecological Disaster

In general, ecological disaster is marked by several symptoms or signs that can be seen and felt in daily life, such as:

  1. Lack of choices for sustaining life.
  2. Failure of ecosystem function.
  3. Deterioration in the quality of life, through marginalization and impoverishment.
  4. At its extreme, eventual death.

Ecological Disasters in the Forestry Sector

In the forestry sector, ecological disasters affect all aspects of human life, especially for those living near to natural forest resources.

All signs and prerequisites of ecological disaster can be found in the forestry sector.

For example, the community living along the Siak River in Riau Province derives its livelihood from fishing. Almost all clothing, food and shelter needs are fulfilled and supported by proceeds from the river. Moreover, the Palace of the Siak Kingdom and the Agung Mosque is located on the edge of this river. The relationship between the river and the community is very strong. Dozens of homes are arrayed along the river and face it.

In the 1980s, the emergence of industries in Riau drove subsequent development of national-scale factories along the Siak River. More than 70 processing industries (oil palm, oil, wood, chemical-thinner, pulp and paper, and other processing industries) were erected and their waste disposed of in the Siak River. Industrial development and construction of roads to distribute their products encouraged the community living along the Siak River to change the direction of their houses so that they faced away from the river instead of towards it. The new orientation of houses altered the community’s culture of waste management. Previously, waste was collected and discarded at a single site away from the river. The new orientation encouraged people to throw their waste directly into the Siak River.

Uncontrolled waste disposal from various factories and the ineffectiveness of law enforcement led to pollution on an almost unimaginable scale. Physically, the river stank and there were often fish deaths. The community tried to find fish either further downstream or upstream during low tide. When it became unviable to cover the distance with fish traps and the fish catch had declined immensely, the fishing community tried farming along the river’s edge as an alternative livelihood.

Later on, some of the processing industries needed more land to ensure their supply of raw materials. Consideration of distance was of course a good reason for subsequent development concessions to be located along the river flow area. The government and companies did not provide satisfactory compensation for the community, who were left in a restricted position.

From the prosperous community group of the previous Siak Kingdom era, the Siak community was now at a point of extreme impoverishment. Skin diseases/irritation/parasites developed easily. The community had no way of improving their welfare. They could choose to work as laborers, but with the level of education and capability they had it was not possible to obtain an adequate income. Some members of the community chose to work as unskilled laborers in other countries. The remainder chose to persist at a low level of welfare, in which access to health and clean water were far from sufficient and restricted their access to education.

Development along the Siak River ultimately led to an environmental crisis, combined with destruction of natural resources and injustice in social development policy. The Siak community presents a clear portrait of ecological disaster. The Siak community lack choices for sustaining life. Failure of ecosystem functions means community life is no longer supported. Quality of welfare has declined dramatically, as has health and education.

Destructive Logging and Deforestation

The deforestation problem in Indonesia is spreading. Illegal and destructive logging is a major cause. In addition, conversion of forest areas for the development of oil palm and the pulp and paper industry has been substantial. Since the beginning of this decade, as much as 2.8 million ha of Indonesia’s forests have been lost each year to illegal and destructive logging. This has led to US $4 billion or 40 trillion rupiah in losses to the State per year.


If we put two and two together, forest conversion and the pulp and paper industry are also causal factors in the rising rate of deforestation. We know that some 15.9 million ha of natural tropical forest has been cleared for forest conversion. The conversion of forests for oil palm development is a contributing factor to the increase in deforestation in Indonesia. From being prime land, 15.9 million ha of natural tropical forests have been cleared. On the contrary, there has been no meaningful increase in planted land area. Plantation area has only increased to 5.5 million ha in 2004, from 3.17 million ha in 2000. More than 10 million ha of forest have been abandoned after the ‘harvest’ of the wood crop growing there.

Similarly, the pulp and paper industry have also brought problems. This industry needs at least 27 million cubic meters of timber each year (Department of Forestry, 2006). Since plantation forests can only supply 30 percent of the total demand for pulp, this industry continues logging activities in natural forests, harvesting some 21.8 million cubic meters in order to fulfill its annual requirement. The timber obtained from natural forests is owned by company affiliates or taken from the concessions of its partners. This is not mentioning plywood or other trades, for which only 25% of timber requirements are supplied by plantation forests.

The negative impacts of forestry crime in Indonesia are described above. Economic losses from forestry crimes such as illegal logging, conversion of natural forests, and so on, are calculated to reach 200 trillion Rupiah. This loss does not include ecological disasters caused by illegal logging activities, such as floods and landslides, which now occur frequently in all corners of the Archipelago.

WALHI deduces that the ecological degradation caused by forestry crimes is caused, at least, by two major factors: (1) differences in the outlooks and value systems upheld by the community, the forestry department, and the government (both local and central); and (2) erosion of the judicial process due to corruption, collusion and nepotism. At this point, enforcement of the law is inconsistent.

Inconsistency in the judicial process is caused by the viruses of corruption, collusion and nepotism, which intricately bind the immediate interests of law enforcers (and even bureaucratic officers) throughout the judicial process, starting with the police, attorneys and the judiciary. The result is that anti-illegal logging operations in Papua Province (March 2005) failed to catch top-rung criminals or their protectors in the police force and military. From this operation, 186 suspects were arrested. But, until January 2007, only 13 suspects had been successfully prosecuted and not one syndicate leader has been caught. From the 18 major cases that have reached court, all accused have been released.

Furthermore, differences in the outlooks and value systems upheld by the community, the forestry department and the government (both local and central) have been a major factor in the increasing rate of forestry crime. From the community’s perspective, forests function to protect people from high winds, drought and erosion. The forestry department also recognises the ecological functions of the forests; however, illegal clearing and logging are allowed to continue in accordance with the economic calculations maintained by the forestry department. Similarly, the government’s stance also draws from economic aspects of forests rather than its ecological functions. For them, the forests are a resource with abundant natural resource wealth that must be extracted for the national income. Unfortunately, the development policies that are implemented do not favour forest sustainability.

As we track the rate of forestry crime (illegal logging, conversion of forests without replanting, the unlimited thirst of the pulp and paper industry for wood), it is clear that the government needs to halt several forms of forestry crime that have the potential to trigger a series of ecological disasters, such as floods, landslides, and drought. In addition, community involvement (especially the traditional community) in securing forest conservation is highly necessary. Moreover, the seriousness of all law enforcers (starting with the police force, attorney, to the judge) is crucial to stopping deforestation associated with forestry crimes. Without the serious involvement of all parties in carrying out surveillance, it is quite possible that Indonesia’s forests will be completely cleared in the not-too-distant future.

Finally, deforestation as a consequence of illegal logging is caused, at least, by three major factors, that is, the lack of acknowledgement by the government of people’s rights to manage their forest resources, widespread corruption in various sectors of forest resource management, and the large gap between supply and demand. If these three factors are not immediately overcome – make no mistake – Indonesia’s forests will be rapidly cleared within a short timeframe.

The Kontu Case, like a Fire in Chaff

The Muna conflict began in January 2003. This land conflict, involving the Kontu-Muna traditional community and the Muna Regency Government, has found neither legal nor political resolution.

This case began with plans for expanding the city zone around Kontu. Implementation entailed the Muna Regent (La Ode Saafi Amane in the 1980s) settling about 50 households in Kontu. This no doubt gave rise to social envy among the community located in Labaha and Bangkali villages in Wali distrcit, who saw the area as their ancestral land. Throughout its development, this case has revolved around the conflicting claims of the Kontu community and the Muna Regency Government for the Kontu, Patu-patu, Lasukara and Wawesa regions.

On the one hand, the Kontu community is convinced that Kontu, Patu-patu, Lasukara and Wawesa regions are their communal ancestral land, which they have a right to inherit and manage according to ecological wisdom that has been passed down through generations. On the other hand, the Muna Regency Government considers the region to be protected forest in accordance with Law No. 41/1999.

This tug-of-war reached a climax when the Muna Regency Government attempted to forcibly evict the Kontu community. The Muna Regency Government not only forced them to move, but also burnt the homes and gardens of the Kontu community, and used violence causing permanent disabilities, and physical and psychological wounds to the Kontu community.

SWAMI, a member organisation of WALHI Southeast Sulawesi that carries out advocacy for the traditional communities of Kontu, Patu-patu and Lasukara, observed the conflict and report several facts and scenarios about the targets of the Muna Regency Government and how eviction of the traditional community in the Kontu forest region was carried out. This report also aims to explain (regional and central) government claims, which are always purportedly in the interests of ‘conservation’ and saving the environment.

First, the protected forest claimed by the Muna Regency Government is based on the Minister for Forestry Decree No. 454/1999. However, this document does not affirm in detail that the Kontu, Patu-patu and Lasukara regions are included in the claim. Moreover, the provision was made centrally without any community participation, to the extent that the determination of boundaries was not approved by the relevant agencies, namely the Agency for Land Affairs and the Governor of Southeast Sulawesi.

Second, the Muna Regency Government mismanaged the protected forest zone. This is evident from forest zoning policies delinating Jompi and Warangga as locations for Public Cemetary and Waste Disposal Sites. This is a digression from Law No. 41/1999 on Forestry.

Third, Kontu, Patu-patu, Lasukara, Wawesa and surrounding areas are in the Watoputeh community communal region. Historically, this region was owned collectively by the Katobu, Lawa, Kabawo and Tongkuno communities. The area is therefore actually the traditional land of these four communities, who have the right to manage it. However in the process of determining boundaries, the status of this region as being traditionally owned by these communities was not heeded and there is now overlapping ownership.

Fourth, although the Muna Regency Government previously employed the excuse that the Kontu region and its surrounds was a protected forest, the reason now used for evicting residents is that it is a green channel according to Regional Regulation No. 9/1997 on City Planning.

In view of these four facts, WALHI Southeast Sulawesi makes the following four recommendations:

First, the Minister for Forestry immediately re-evaluate Ministerial Decree No. 454/kpts-II/1999 dated 17 June 1999 on the Determination of Forest and Water Zones in Southeast Sulawesi Province, because this decree is used by the Muna Regency Government as an excuse to evict traditional communities and farmers in the Kontu region. It is a major trigger for agrarian conflict in Southeast Sulawesi, and pits traditional communities against regional governments. This has occurred in a number of regions including the Rawa Aopa Watumohai National Park region, where it gave rise to a dispute involving the traditional community whose livelihoods depend on marine resources, which have been subdivided by the National Park; the Raya Murhum Forest Park conflict, which has pitted the government against the community residing around the Tahura zone; and other conflicts that remind us just how many of our traditional communities live around forest areas that the government have unilaterally designated as national parks, protected forests or community forest parks.

Second, immediately re-structure existing land and forest zones according to the communities around Muna Regency, using a community forest system model.

Third, immediately stop evictions and other acts of violence that violate human rights.

Fourth, the National Human Rights Commission to immediately take preventative action to stop conflicts occurring in Kontu, Muna Regency, to protect the human rights of the Kontu community, and pursue these so that decisions affecting the relevant parties are legally binding.

In its attempts to resolve the Kontu case, WALHI Southeast Sulawesi together with the Kontu community as represented by the Kontu People’s Organisation has had dialogue with various parties, covering political, legal, social, cultural and economic issues. Regarding the political aspects, the Kontu community accompanied by Arif Rachman, the executive director of WALHI Southeast Sulawesi, met with Commission IV of the Republic of Indonesia People’s Representative Council. At this meeting, Ganjar Pranowo (member of Commission IV of the Republic of Indonesia People’s Representative Council) requested that the community accompanied by WALHI make a road map for resolution of the Kontu case as it has unfolded and pursue this with the Department of Forestry. Moreover, the PDIP fraction of the Republic of Indonesia People’s Representative Council has issued a letter of appeal to the Department of Forestry to resolve the Kontu case peacefully and justly.

The Kontu community also approached the National Police Headquarters to report the conditions that they had so far experienced. The Kontu People’s Organisation even had dialogue with the Department of Forestry as represented by the Secretariat-General for Forestry and several competent staff who subsequently issued a recommendation for the formation of a team who would carry out a study to re-assess the status of the Kontu forest zone, as material for resolution of conflicts in the region using a persuasive dialog and just approach. Moreover, the Kontu People’s Organisation (headed by Aisyah), as a vehicle for the Kontu community and accompanied by WALHI Southeast Sulawesi, also held a meeting with Mr. Anang Yuwono (Southeast Sulawesi Regional Police Head), Adjunct Police High Commissioner (AKBP) Yudar L Lullulambi (Muna County Police Head), Mr. Paraminsi Rahman (expert staff, Muna Regional Forestry Service) and Mr. La Ode Sadikun (acting head, Southeast Sulawesi Provincial Forestry Service) at the Fajar Restaurant (31 May 2007). In this meeting, it was stated that the Regional Police Head did not have the authority to resolve this case outside of criminal and civil suits. Apparently, the issue fell within the jurisdiction of the Department of Forestry. In response to the Regional Police Head’s reply, the two representatives from Muna County Forestry Service and Southeast Sulawesi Provincial Forestry Service were unable to give a satisfactory reply regarding resolution of the Kontu case.

In fact, the Kontu community’s conflict with the Muna Regency Government is not that complex, if the government had good intent for resolution of the problem and invited community participation in forest zone management. This is because the existence of the community around the forest actually improves the security for forest sustainability, as local communities have an interest in protecting the function of the forests that they manage because this is the land that gives them life. The complexity of conflict resolution is linked to political issues, as is evident from the statement made by the Muna Regent in the Southeast Sulawesi local daily newspaper. He states that the evacuation of the Kontu region is ‘my political promise’. In the eyes of the Muna Regent, failure to clear out the Kontu region would be a personal failure that could have political implications. This is the arrogance of a ruler who personifies power as if it is clutched in the hand of one person, and forgets the main function of government, namely service of the people’s interests, not service of the Regent’s interests.

Even if conditions return to normal, it is therefore quite possible that the embers will fire up again unless the Kontu case is completely resolved.

Groups Slam World Bank’s Support for Massive Indonesian Plantation Increase

Wednesday, February 21, 2007


CAPPA, Yayasan Keadilan Rakyat, WALHI South Kalimantan, Yayasan PADI, WALHI National Executive, NADI, Environmental Defense ,Friends of the Earth-International

Jambi, Kalimantan, Jakarta (Indonesia) / Amsterdam (the Netherlands) / Honolulu (US), February 21, 2007-- Groups from three countries, today slam World Bank' support for increased industrial plantation scheme in Indonesia.

“In Indonesia, plantation establishment has traditionally been linked to extraordinary deforestation, uncontrolled forest fires impacting local communities and neighboring countries and significant human rights violations”, said Rivani Noor of CAPPA in Sumatra, a local NGO based in Jambi province of Indonesia.

The Bank’s plan identifies as “among the highest priorities”, support for the Department of Forestry’s plan for the acceleration of plantation development which includes the establishment of 5 million hectares of industrial timber plantations and 2 million hectares of so-called “community forests”.

“The push to establish between 5 to 7 million hectares of industrial plantations will cause tremendous harm to our forests and the women and men whose livelihoods depend on them,” said Farah Sofa, WALHI, the Indonesia's largest environmental group.

“So-called plantation - community “partnership” programs have generated conflicts, impoverishment, and environmental degradation for decades, said Rukaiyah Rofiq of Yayasan Keadilan Rakyat, a local group based in Jambi Province of Indonesia. “Lack of recognition of adat and community land and forest rights, the use of military security forces on behalf of plantation companies, the loss of lands due the vastly unequal power of the partners are all tremendous problems with ‘community plantation’ programs.”

“We oppose the application of ‘plantation partnership’ programs in the continued absence of full prior recognition of indigenous forest and land tenure rights,” said Koesnadi, Yayasan PADI of East Kalimantan.

Between 1985 and 2004, “donor” funding for Indonesia’s forestry sector totaled over US$1 billion, with the Bank providing approximately one third of these funds many of which must now be paid back by the Indonesian people. During this period, massive overcapacity was established in the forestry sector, illegal logging grew to astonishing proportions, the land and forest rights of indigenous communities were increasingly violated as entire areas were subject to military intervention on behalf of forestry companies, said Titi Sintoro, NADI.

“It is important to remember that the Bank withdrew from Indonesia’s forestry sector after disastrous projects with irreversible impacts on forests and indigenous peoples,’ said Dr. Stephanie Fried of Environmental Defense, U.S.A. “We do not see substantial positive change in terms of illegal logging, corruption, and human rights in Indonesia’s forestry sector.”

In the new plan, the Bank admits that the Indonesian forestry sector suffers from tremendous overcapacity, including large bankrupt paper and pulp mills operating without a legal supply of timber. The report mentions “corrupt practices” apparently involved in the sale and debt restructuring efforts of major forestry companies and cites as a “moral hazard” inappropriate debt write-offs and settlement agreements which plague the sector. Rather than recommending a downsizing of the industry in line with bankruptcy proceedings, however, the Bank calls for a vast increase plantation establishment which would keep these companies and, apparently, new companies planning on constructing additional mills afloat. The Bank suggests as a “policy of convenience” that “on conversion forest land, it may be appropriate to allow some added timber harvest (and forest/land damage) in the short run to balance industrial timber demand and supply”.[1]

“Reducing overcapacity in the forestry sector, through the downsizing of bankrupt companies and preventing the establishment of additional industrial capacity including new paper and pulp mills is one of the key first steps which must be undertaken to bring demand into line with legal timber supply, “ said Berry Nahdian Forqan, Director of Walhi South Kalimantan. “The troubled United Fiber System and Kiani Kertas mills are the perfect example of financially unstable companies without access to sufficient legal timber.” (See enclosed documentation on UFS and Kiani Kertas.)

“The bank claims to have followed a process of consultation during the development of this plan”, said Rivani, Facilitator of CAPPA. “Despite our repeated requests, they have refused to provide copies of their draft strategy and plan in Indonesian language, making it impossible to carry out proper consultation with affected peoples. It is as if nothing has changed.”

For more detailed information about the World Bank's history and involvement in Indonesia forestry sector, please see attached background information. For information on current attempts to expand the pulp and paper sector, see the attached account of proposed UFS and Kiani Kertas chip and pulp mills in Kalimantan.




Background Information
Today, the World Bank is launching a new “strategic plan” for re-entry into the Indonesian forestry sector in support of a massive industrial plantation scheme promoted by the Indonesian government”.[2]

The Bank withdrew from direct involvement in Indonesian forestry sector finance almost a decade ago after disastrous projects with “serious and probably irreversible impacts on the forests and indigenous people[s]” of Indonesia, according to the Bank’s own auditing department, the Operations Evaluation Department.[3]

In 2000, during the World Bank’s regional consultation on Forestry Policy, prominent Indonesian NGOs, including WALHI, ELSAM, INFID, Solidaritas Perempuan, LPPMA, YALI, KSPPM, Evergreen KSPHK, called on the World Bank and the Government of Indonesia to take crucial measures prior to any consideration of engagement in the Indonesian forestry sector. Most of these core steps – necessary for the establishment of a sustainable and socially equitable forestry sector –have not been taken. They continue to be as important in 2007 as they were in 2000:

  1. Any forest sector strategy must be predicated on prior full legal recognition by Indonesia of hukum adat,/ hak atas hutan adat -- indigenous rights to land and forest.
  2. Postponement of Bank adjustment loans, which the 2000 OED study indicated have significant impacts on forests, until there is clear "ownership" by GOI of loan conditionalities including:
  3. Prosecution of 176 companies alleged to have been involved in setting forest fires and not yet prosecuted;
  4. Cancellation of the logging concession/plantation system that the OED identified as a “moral hazard” Revision of forestry law 41/1999 to recognize the rights of indigenous peoples and their forest management systems
  5. Redefinition the forest areas in a participatory manner working together with indigenous and other forest dwellers;
  6. Given the overcapacity in the paper and pulp sector identified by the OED as the largest threat to Indonesia's forests, and research indicating the likelihood that the paper and pulp sector is supplied by illegal logging, focus on reducing overcapacity in this sector.
  7. Strong governmental action against private sector debtors in forestry sectors (in 2000, 70% of forest related debt was held by 10 big conglomerates including those owned by Bob Hasan, Barito Pacific, Salim group, Sinar Mas, etc). Do not absolve these debts. Collect where collection is possible. Shut down operations, including paper and pulp, where bankrupt. Private debts must not be come public debts.
  8. Cessation of the use of military security forces in forest sector management.

Walhi: Governor Aceh, Immediately Implementation Plan Moratorium

Banda Aceh - WALHI Aceh assess Governor plan Governance Of Aceh of Drh. Irwandi Yusuf to go into effect Moratorium or interval cut away in Forest Aceh still only limited to governmental campaign and discourse of Aceh in developing trust of public, governmental therefore aceh have to immediately terminate Discourse of Moratorium this Forest with step and action of implementation, otherwise public will become to tire of and doubt of governmental comitmen.

Campaign of Moratorium Forest Aceh which is frequent to be buzzed by Drh. Irwandi Yusuf at event appointment of regent and mayor in Provinsi Aceh some times then not yet expressed big step to be done by government in Forest Aceh reform, because legal forestry permit discourse and illegal only one of the slice of complicated problem of forest of aceh.

According to view of Walhi Aceh, plan Moratorium Forest Aceh represent big scenario in saving of forest of aceh which must be done by government of provinsi later;then of followed by government of town and sub-province. To facilitate plan of moratorium this of field in detail and do not happened doubt to its executor hence Governor have to specify Moratorium Forest Aceh in the form of regulasi or policy of government of provinsi or insist on Parliament Aceh (DPRA) to authenticating it in the form of Qanun, so that there are rule of law in execution of Moratorium.

Plan of Moratorium Forest Aceh have to entangle public widely, do not only On duty Forestry, but Sectoral On duty related to management of natural resources, and society around forest, public and also widely which is have importance to forest of aceh.

Moratorium or interval cut away is stop or coagulation whereas all activities hewing of big and small scale wood (industrial scale) certain for the time being until a condition of which is wanted to be reached. a period to goning into effect of moratorium is usually determined by how long time required to reach the condition.

According to Walhi Aceh, in general plan Moratorium or forestry reform of aceh done with step which is structure, first, started with stop of expenditure of new permissions, both, execution of test totally industrial performance of forestry, third, saving of most threatened forests, fourth, stop whereas all deforestation and solution of potential problems, fifth, prohibition order hewing in forest of aceh.

To fulfill requirement of wood to big industry can use Import wood mechanism, while to answer the demand of domestic requirement or household can fulfill to through scheme of community arranged logging and observed tightly and adapted for requirement of household.

For that Walhi Aceh, urgent of Governor Governance Of Aceh of Drh. Irwandi Yusuf to immediately to discontinue discourse of Moratorium Forest Aceh, but immediately do implementation step by releasing moratorium regulasi and compile step of moratorium in detail. Do this implementation step have to immediately done by Government before public doubt of forest moratorium comitment of aceh. (end).