Wednesday, October 10, 2007

Jeda Tebang dan Konversi Hutan - Keluar dari bencana ekologis

Rully Syumanda

Memasuki tahun 2007, Jeda Tebang menjadi kebijakan yang paling sering diperbincangkan disektor kehutanan di Indonesia. Berbagai pihak, termasuk sejumlah punggawa kunci dalam Pemerintah Indonesia juga menyebutkan jeda tebang adalah cara terbaik untuk keluar dari berbagai bencana dan dampak negatif dari ekstraktif industri di sektor kehutanan. .

Secara definisi Jeda Tebang adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen.

Jeda Tebang dilaksanakan selama paling sedikit 15 tahun. Sebelum berakhir, dilakukan evaluasi untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Masa limabelas tahun dianggap cukup untuk:

  1. memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi
  2. memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih
  3. mempersiapkan Protocol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat
  4. mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan assesment terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru maupun yang lama
  5. mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap sumberdaya hutan.
Mengapa Harus Jeda Tebang
Jeda Tebang adalah pilihan yang paling masuk akal. Setiap tahunnya kita kehilangan hutan lebih dari dua juta hektar . Melihat pada cadangan Hutan Produksi di Indonesia seluas 41,25 juta ha , melihat pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri hanya sanggup memenuhi separuh dari kebutuhan industri pulp, dan melihat bahwa biofuel akan memicu percepatan pelepasan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit, diperkirakan bahwa pada tahun 2012 hutan alam dataran rendah di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi musnah. Pada tahun 2022, seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia musnah.

Berbagai inisiatif untuk memperbaiki sektor kehutanan seperti FLEGT tidak akan mampu menekan laju kerusakan karena hanya mengatur tentang penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan kayu. FLEGT tidak menyentuh akar masalah di sektor kehutanan yaitu pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara supply dan demand di industri kehutanan. Disamping itu, FLEGT juga tidak menyentuh akar masalah yang memicu percepatan deforestasi Indonesia yaitu pola konsumsi. Sertifikasi juga tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepanjang bersifat voluntary. Sertifikasi memberikan ilusi seolah ada pengelolaan hutan yang lestari. Sama seperti FLEGT, sertifikasi mengalihkan persoalan fundamental kehutanan.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut diatas muncul justru dari kenyataan yang ada pada industri kehutanan itu sendiri. Laju tebangan illegal pada tahun 2006 telah mencapai lebih dari 19,051 juta meter kubik dengan kerugian Rp. 22,862 trilyun rupiah . Angka ini sedikit kecil bila dibandingkan dengan devisa yang diperoleh dari eksport kehutanan minus pulp yang mencapai Rp. 29,536 triliun . Namun dengan kerugian banjir dan longsor senilai Rp. 8,158 triliun, angka kerugian bertambah menjadi 31,020 triliun rupiah . Ringkasnya, setiap tahunnya industri kehutanan berkontribusi terhadap defisit devisa negara sebesar Rp. 1,484 triliun rupiah. Belum termasuk kerugian yang muncul dari penyelundupan kayu, biaya konflik dan nilai ekologi sumberdaya hutan.

Penyelesaian atas masalah disektor kehutanan tentu tidak akan mudah. Operasi illegal logging hanya mampu menyentuh kurang dari 8,7 persen kayu yang ditebang secara illegal setiap tahunnya. Revitalisasi dan restrukturisasi industri di tingkat nasional juga berjalan saling berseberangan dengan peningkatan kapasitas industri. Pada saat audit dilakukan pemerintah justru meningkatkan kapasitas produksi pulp di Sumatera dan berencana untuk membangun satu industri pulp di Kalimantan dan satu di Papua.

Ringkasnya, ada banyak kepentingan yang saling berseberangan disektor kehutanan. Satu sisi, ada masalah bencana dan konflik yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan disisi lain ada dorongan untuk melakukan ekstraksi terus menerus untuk memenuhi cadangan devisa dan pembayaran hutang bagi industri yang tertanggung di BPPN. Kordinasi pusat dan daerah juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengakibatkan informasi dan perkembangan industri di tingkat kabupaten tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Membuat perencanaan pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada asumsi-asumsi. Membuat solusi terhadap pembangunan disektor kehutanan tidak menyentuh tiga masalah mendasar: tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat, korupsi dan besarnya kesenjangan antara pasokan dan permintaan di industri kayu.

Pilihan Jeda Tebang diambil dikarenakan ada banyak kepentingan yang membuat solusi terhadap masalah menjadi sulit didapatkan. Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki. Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan rakyat bisa dilihat secara lebih jernih.

Keuntungan Jeda Tebang
Moratorium akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, seperti antara lain:
  • Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
  • Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat;
  • Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial (penguasaan) sumber daya hutan;
  • Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor seluas-luasnya;
  • Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing;
  • Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku; dan
  • Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius membangun hutan-hutan tanamannya.

Kerugian bila Jeda Tebang tidak dilaksanakan
Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak memberlakukan moratorium saat ini, seperti sebagai berikut:
  • Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
  • Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
  • Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
  • Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin menghancurkan hutan alam;
  • Defisit kehutanan akan terus bertambah;
  • Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022;
  • Indonesia akan kehilangan basis industri diluar pulp yang menghasilkan devisa sebesar US$ 4 milyar dan bila sumberdaya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang;


Tahapan Jeda Tebang dan Implementasi Reformasi Kehutanan

Jeda Tebang hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Jeda Tebang menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Jeda Tebang juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Langkah-langkah Jeda Tebang dapat dilakukan selama satu tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian Pengeluaran Ijin-Ijin Baru

  1. Pemerintah menghentikan pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK dan perkebunandiatas hutan alam.
  2. Pemerintah mengeluarkan Perpres yang mengatur penggunaan kayu-kayu sitaan hasil dari praktek penebangan liar agar dapat langsung dikelola oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kebijakan impor bagi industri olah kayu.
  3. Menyusun strategi pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat untuk kedepannya
  4. Melakukan audit terhadap berbagai perizinan dan penilaiannya dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga. Hasil audit kemudian digunakan untuk menghentikan ijin HPH dan IPK yang bermasalah, terutama yang melakukan penebangan diluar batas yang ditentukan dan izin yang dikeluarkan tanpa mengikuti peraturan penrundangan yang berlaku, Penegakan hukum kemudian dilakukan bagi konsesi-konsesi yang bermasalah.

Tahap II: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 8 bulan setelah Tahap I, pemerintah kemudian:
  1. Mengeluarkan Perpres yang menghentikan seluruh penebangan kayu di hutan alam.
  2. Melakukan persiapan untuk inventarisir wilayah hutan dengan melakukan zonasi ulang mengacu pada TGHK 94
  3. Melakukan persiapan untuk merekalkulasi dan memprediksi kebutuhan kayu masyarakat untuk lima belas tahun kedepan.
  4. Mendorong munculnya gerakan penghematan kayu di tinagkat masyarakat
  5. Mendorong revitalisasi system adat dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan
  6. Melakukan persiapan untuk mendistribusikan lahan-lahan kritis yang terletak di hutan dataran rendah kepada masyarakat termasuk konsesi-konsesi perkebunan yang tidak ditanami untuk kemudian melakukan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Tahap III: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalah-masalah sosial

Dalam waktu 4 bulan setelah Tahap II, Pemerintah kemudian:
  1. Melakukan jeda tebang di hutan alam dengan menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu selama 15 tahun. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di atas hutan tanaman yang berasal dari penanaman sendiri atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal yang untuk ini diatur melalui peraturan tersendiri dan dilakukan pengawasan ketat.
  2. Menyusun kebijakan untuk memberikan insentif bagi pembangunan industri hilir komoditi unggulan yang tujuannya untuk menyerap tenaga kerja dari sektor perkebunan sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi.

Selama masa lima belas tahun, pemerintah mempersiapkan kebijakan yang mengatur tentang Protocol Resolusi Konflik sebagai panduan kedepannya untuk menyelesaikan konflik-konflik disektor kehutanan, Standar Pelayanan Ekologi sebagai guidelines dalam mengeluarkan kebijakan penguasahaan dibidang kehutanan dan perkebunan, menyusun kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan pada masyarakat dan lalu lintas perdagangan kayu.

Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu dapat tetap jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu dari luar negeri. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri sendiri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

No comments: